--- Part 60 ---
Excel merebahkan tubuhnya dikasurnya. Otaknya terus berpikir. Kepalanya sudah terasa sangat pusing. Dia ingin tidur. Ingin melupakan sekali saja masalahnya. Tapi tidak bisa. Sudah semalaman dia tak bisa menutup matanya. Kantuknya terasa pergi entah kemana. Bahkan sampai pagi hari ini pun matanya belum terasa kantuk.
Dia terus memikirkan tentang Ezaah. Munella. Dan perkataan Zio. Dia bingung harus melakukan apa. Bahkan, mendengar kematian Ezaah pun ia tak bisa menangis. Walaupun dadanya sangat sesak dan ingin meluapkan semuanya, tapi matanya serasa kering.
Tok Tok Tok!!
Suara ketukan pintu kamar membuat lamunan Excel terbuyar.
"Siapa?" ucapnya yang masih terbaring.
"Ini gue Yogi, kita harus bicara."
Excel berdecak.
"Ogah! Bukannya Lo udah seneng ngerbut cewek orang lain?!"
"Gue gak ngerebut! Makanya kita bicara dulu. Biar clear gak ada masalah."
"Gue gak peduli." Excel masih menatap kosong atap kamarnya.
"Ayo lah cel! Lo cowok kan? Keluar dan kita bicara, ini tentang Munella."
Munella. Entah mendengar nama itu membuat Excel sesak. Tentang pengkhianatannya, balas dendam, adik Paili... Kepalanya serasa ingin pecah memikirkan itu semuanya. Ia masih sangat mencintai gadis itu.
"Mending Lo pergi, karena Gue udah kalah. Lo sama Ziovan udah jadi pemenang."
"Maksud Lo apa? Gue gak ada niat apa-apa cel! Dan Ziovan? Lo kenal sama dia?"
Excel bungkam. Males mengeluarkan kata.
"Denger cel, seterah Lo ngira gue apa. Tapi yang jelas, gue gak pacaran ataupun selingkuh sama Munella. Munella sendiri yang tiba-tiba cium gue dan ngarang cerita. Dan soal Ziovan, dia kakak alumi gue yang deket sama gue, tapi dia gue gak pernah merencanakan apapun sama dia."
"Lo bisa diem gak!" Excel setengah membentak. Wajahnya kini mengeras. Ia sudah muak dengan semua ini. Dia tak mau membahas semua hal itu.
"Cel, percaya sama gue."
"Percaya kata Lo?!" Excel pun bangkit dari kasurnya. Ia membuka kunci pintu kamarnya. Yogi terkejut sekaligus senang dibukakan pintu. Yogi terperengah melihat Excel yang terlihat sangat kacau. Wajah pucat, mata berkantung dan bau badan.
"Kepercayaan gue sama Lo udah hilang Gi! Dan Siapa yang pantes gue percaya hah?! Gue muak sama Lo semua! Liar!"
"Dewasa Cel! Dewasa!" Yogi juga mulai kesal dengan perkataan Excel. "Lo ngomong kaya gitu karena Lo kecewa kan? Lo sakit hati? Maksud kehadiran gue disini buat bantu Lo, karena apa? Gue gak mau Lo salah paham sama gue Cel!"
Emosi Excel turun seketika. Dia memang kecewa dan sakit. Jika ada sebuah kata yang melebihi makna kedua kata itu, mungkin itu adalah hati Excel saat ini.
"Semua masih bisa diperbaiki Cel! Sumpah demi Tuhan, Gue gak selingkuh sama Munella ataupun ada rasa secuil aja sama Munella."
Excel menatap mata Yogi. Mencari kebohongan disana. Tapi tidak ada kebohongan disana. Yogi berkata jujur. Tapi walaupun mereka tidak selingkuh ataupun Yogi tak bersalah, itu semua percuma saja.
Excel mengusap wajahnya.
"Tapi dia bilang, dia sayang sama Lo, Gi." Suara Excel terdengar serak.
Yogi tersenyum menatap Excel. Ia memegang pundak Excel.
"Gak mungkin cinta terbaik tergantikan Cel. Gue yakin dia juga lagi galau kaya begini, dia terlihat tertekan. Inilah yang membuat gue penasaran dengan alesan dia melakukan semua ini."
"Dia melakukan ini semua demi dendam."
"Dendam?" Yogi mengerutkan keningnya.
"Ya, kakaknya mantan gue. Gue ninggalin kakaknya begitu aja. Ini semua salah gue Gi" Suara Excel melemah. Wajahnya terlihat frustasi dan menyesal.
"Kalo Lo udah tau Lo salah, kenapa Lo gak minta maaf? Jangan jadi pengecut Cel."
"Tapi kalo gue minta maaf apa semuanya bakal balik seperti semula? Gak kan."
"Jangan jadiin itu sama seperti dulu Cel, Karena masa lalu emang tidak bisa dirubah, tapi masa depan masih bisa diperbaiki. Hati Lo dan dia juga akan merasa lega. Lo gak bisa terus lari atau cuma meratapi ini semua Cel." Yogi tersenyum. "Perbaiki apa yang udah Lo rusak. "
Excel tersenyum menatap Yogi. Ia mengucapkan syukur dalam hatinya. Karena dia telah menemukan jawaban dari masalah ini.
--- Part 61 ----
2 week later
Excel memencet bel rumah Munella. Dia memegang sebuket bunga mawar merah, dengan hati yang sangat senang.
Tak lama kemudian, Bi Ayu datang menghampirinya.
Ketika melihat Excel yang datang, wajah Bi Ayu seketika sedih.
"Maaf de Excel, udah tau jawabannya kan?"
Excel menghembuskan nafasnya dengan panjang. Tapi senyumnya tak hilang dari wajahnya. Seolah hal ini adalah biasa.
"Munella masih belum mau bertemu dengan saya kan Bi?"
Bi Ayu mengangguk lemah.
"Tadi bibi udah bujuk rayu dia buat ketemu sama de Excel, tapi dia tetep gak mau."
Excel mengangguk mengerti, "Gapapa kok Bi, Bi Ayu juga udah tau kan jawabannya?"
"De Excel nunggu di depan gerbang lagi?" Tanya Bi Ayu meyakinkan.
"Iya saya akan nunggu dia sampe dia mau bertemu dengan saya."
"De Excel juga mau nunggu sampe malem? Tapi de, ini mendung. Nanti de Excel bisa kehujanan."
"Bi Ayu tenang aja okay. Kan udah biasa." Excel memberikan buket bunganya ke Bi Ayu. "Bibi kasih ini ke Munella yah." Excel tersenyum ramah.
Bi Ayu mengangguk lemah. Ia merasa iba dengan Excel. Excel setiap hari selalu ke rumah Munella dengan membawa sebuket bunga. Dia terus berdiri di depan gerbang setiap sore menunggu Munella keluar dari rumahnya. Ia menunggu sampai malam, dan itu ia lakukan setiap hari. Tanpa duduk ataupun mengeluh.
Bi Ayu pun masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Excel yang berdiri menatap jendela kamar Munella. Ia sangat berharap Munella membuka gorden itu. Berharap Munella melihatnya sedikit saja. Excel juga merindukan Munella. Ia berharap Munella akan mau memaafkan dan menerima Excel kembali.
Tak lama, rintihan hujan turun menguyur bumi. Mulai membasahi baju Excel. Petir dan kilat pun ikut menyertai hujan itu. Tapi Excel tak bergeming dengan hujan itu. Ia terus setia menatap jendela itu.
Sebenarnya, jika mau. Excel bisa menunggu di dalam mobilnya. Tapi ia memilih berdiri di depan gerbang Munella. Sesekali ia memainkan kakinya yang sering kesemutan ataupun pegal.
Dia tetap setia menunggu Munella menemuinya. Di pikirannya sudah banyak perkataan yang ingin ia ungkapkan ke Munella. Bukan cuma itu saja, ia juga sangat berharap Munella akan memberikan kesempatan kedua kepada Excel.
***
"Non Nela, diluar hujan besar. Saya suruh de Excel masuk yah?" Panggil Bi Ayu dibalik pintu kamar Munella.
"...."
Hening tak ada jawaban dari Munella.
Bi Ayu terdengar mengetuk pintu lagi. "Non, Non tidur?"
"..." Munella masih tak menjawab. Matanya terbuka lebar, hanya saja mulutnya ingin bungkam.
"Yaudah Non, saya suruh de Excel masuk yah."
Seketika Munella tersentak bangun dari kasurnya.
"Jangan Bi! Jangan pernah biarkan dia masuk!"
"Apalagi masuk ke dalam hati aku lagi. Jangan!" batinnya.
"Tapi Non, dia bisa sakit hujan-hujan begitu."
"Suruh dia pulang aja." Ucap Munella yang masih belum membuka pintu kamarnya.
"Tapi pasti dia gak mau pulang Non."
"Ya seterah dia aja lah bi."
Bi Ayu menghembuskan nafas lelahnya.
"Non, non kan udah dewasa. Mau sampai kapan Non lari dari de Excel terus?"
"..."
Munella tak menjawab perkataan Bi Ayu. Kali ini bukan karena ia tak mau atau malas bicara, tapi karena ia berpikir. Ia memandang jendela kamarnya dari jauh. Ia yakin, pasti Excel menatapnya melalui jendela itu. Dia pasti berharap Munella mengintip lewat sana. Munella memang ingin sekali mengintip Excel setiap harinya, tapi itu semua dia tahan. Dia tidak ingin melihat Excel disana, pasti hatinya akan terasa tambah sakit lagi jika melihat Excel menderita karena dirinya.
"Temuin dia sebentar aja Non. Selesain masalah kalian berdua."
"Masalahnya gak akan selesai bi. Lagian dia pantes menderita kaya gitu." Ucap Munella dengan nada dingin. Lagi-lagi dia mengerutu di dalam hatinya. Dia merasa dirinya sangatlah munafik. Dia bertindak seolah membenci Excel, tapi sebenarnya ia juga mencintai Excel.
Munella memegang dada sebelah kirinya. Masih teringat jelas dibenak Munella tentang penderitaan kakaknya, dan Munella telah berjanji akan melakukan balas dendam.
--- Part 62 ----
-Flashback- 8 month ago.
Munella menatap seseorang didalam jeruji besi dengan tatapan nanar. Bibirnya membisu. Tubuhnya kaku. Matanya terus meneteskan air mata.
"Kak?"
Paili yang sadar kehadiran Munella pun meliriknya. Wajah Paili terlihat kusam dan pucat. Tubuhnya juga kurus. Dia benar-benar terlihat tak terawat.
"Mun?" Paili mendekati Munella, sampai jarak mereka dihalangi oleh jeruji besi.
"Ka-kamu kenapa bisa disini?"
"Aku yang harusnya tanya kakak! Kenapa kakak bisa masuk penjara kak? Kenapa kakak berbuat kejahatan sampe mama sama papa gak peduli sama kakak? Kenapa kak?"
Suara Munella terdengar serak. Air matanya terus mengalir. Dia sangat kecewa. Kecewa dengan kakaknya yang telah ia jadikan sebagai inspiratornya, Kakak yang ia sayangi, Kakak yang selalu disampingnya serta Kakak yang selalu membuat hari-harinya berwarna, melakukan tindakan kejahatan.
Paili mengusap air mata adiknya itu. Menatap Munella. Air mata juga jatuh dari kedua kelopak matanya. Ia sangat menyayangi adiknya itu.
"Maafin kakak Mun. Tapi kakak gak berbuat kejahatan."
"Terus kenapa kakak bisa masuk ke sini?" isak tangis Munella mereda.
"Ini semua jebakannya Kevin. Kamu inget Kevin kan?"
Munella mengerutkan keningnya. Berusaha mengingat nama iu. Seketika ia mengingat orang yang dimaksudkan kakaknya itu.
"Ya Kevin, anak rekan bisnis papa kan?"
Paili mengangguk, "Ya dia yang ngelakuin ini semua Mun."
Paili terisak dalam tangisnya. Membuat pertanyaan dibenak Munella.
"Tapi kenapa kak?"
"Karena dia sayang sama seorang cewek Mun. Dia ngelakuin apapun untuk cewek itu." Paili berusaha menggendalikan nafasnya. "Nama ceweknya Ezaah."
"Tapi kenapa Ezaah mau ngejahatin kakak?"
"Karena Ezaah suka sama pacar kakak. Dia udah ngerebut pacar kakak Mun."
"Pacar kakak?"
"Ya Mun. Namanya Excel."
Munella terkejut mendengar orang yang dimaksudkan kakaknya itu. Pasalnya, Excel sudah sangat dekat dengan Munella.
"Te-terus apa yang harus aku lakuin buat ngebebasin kakak?"
"Hancurin mereka Mun, mereka semua. Termasuk Excel." Nada Paili terdengar sangat dingin.
***
Munella berlari tergesa-gesa di sepanjang lorong rumah sakit. Hatinya sangat khawatir, pikirannya sudah sangat kacau. Ia sangat takut. Ia berhenti di depan sebuah pintu. Nafasnya masih naik turun. Dengan perlahan, ia membuka handel pintu tersebut.
Terdapat suster yang sedang merapikan ruangan itu. Tapi bukan suster tujuan Munella. Melainkan orang yang berbaring disana. Dengan perlahan, ia pun masuk ke dalam ruangan itu. Sampai ia berhenti didepan kasur yang berisikan orang ditutupi oleh kain putih.
Ia membukanya dengan gemetar. Detak jantungnya seolah berhenti sedetik. Matanya membelalak. Ia melihat wajah orang itu. Hatinya bercambuk sakit. Sangat sakit. Ia benar-benar tak menduga ini. Baru kemarin ia bertemu dengan orang itu. Baru kemarin orang itu menceritakan penderitaannya. Sekarang orang itu juga diambil oleh Tuhan.
"Kak." Suara Munella pelan. Hingga siapapun tak ada yang mendengar.
Ia tidak menanggis. Ia tidak juga tersenyum. Tubuhnya meresot jatuh ke bawah. Dia benar-benar ingin marah sekarang. Seolah ada monster yang didalam dirinya. Suster yang ada disana pun menghampiri Munella. Memberikan kata-kata basi agar Munella bisa tegar dan sabar. Tapi Munella tak bergeming.
Dipikirannya berteriak, "Aku akan membalasnya kak! Aku janji!"
Flashback End
--- Part 63 ----
"Aku gak mau memperbaikinya sama kaya dulu. Aku mau memperbaikinya menjadi baru. Karena masa lalu emang gak bisa dirubah, tapi masa depan masih bisa diperbaiki." -Rexcel Do Pamine-
"Non.. Ayo dong Non keluar dulu sebentar."
Bi Ayu memanggil Munella lagi. Munella yang sedang berbaring dikasurnya, beranjak bangun. Pikirannya habis berkelahi dengan hatinya. Ia menghapus air matanya. Ia harus menyelesaikan semua ini. Ia membuka pintu kamarnya. Di dapati Bi Ayu yang berdiri disana terkejut yang disertai rasa senang diwajahnya melihat Munella yang membuka pintu.
"Non? Non mau ngomong sama de Excel?"
"Iya bi, dimana dia?" Ucap Munella dengan nada datar.
Wajah bi Ayu seketika sumeringah, "Oh dia masih didepan gerbang Non. Non mau pake payung?"
Munella langsung beranjak pergi ke depan gerbangnya. Ia tak menggunakan payung. Ia juga tak mendengarkan bi Ayu yang terus memanggilnya untuk menggunakan payung. Yang ada dibenaknya hanyalah ingin menyelesaikan semua ini. Ingin segera Excel menjauh dari hidupnya, serta hatinya.
Sampailah dia didepan gerbang. Bajunya sudah mulai basah akibat hujan, tapi dia tak peduli. Dengan perlahan, dia membuka pintu gerbang itu. Excel yang melihat pintu gerbang terbuka terlihat sangat senang. Sampai mereka saling menatap. Excel tersenyum lebar. Sedangkan Munella menunjukan wajah datar.
"Mun? Kamu keluar? Ap-"
"Cepet bicara apa mau kamu kesini!" Ucap Munella dengan ketus.
Seketika senyum Excel menghilang. Ia salah menduga Munella akan bertingkah baik padanya. Ia menghembuskan nafas panjang.
"Aku mau minta maaf."
Munella memutar bola matanya dengan malas. Seolah perkataan Excel adalah sebuah lelucon, "Kamu lucu yah. Memangnya dengan kamu minta maaf, dapat membuat semuanya kembali? Gak! Ibaratnya, kamu udah pecahin sesuatu sampe berkeping-keping. Mustahil untuk dijadikan seperti semula!"
"Kalo begitu, kasih aku kesempatan untuk memperbaiki."
Munella tersenyum miring, "Seharusnya kamu sadar, walaupun kamu memperbaiki, semuanya gak bakal sama seperti dulu lagi."
"Aku gak mau memperbaikinya sama kaya dulu. Aku mau memperbaikinya menjadi baru. Karena masa lalu emang gak bisa dirubah, tapi masa depan masih bisa diperbaiki."
Dada Munella terasa hangat mendengar perkataan Excel. Perasaannya juga menginginkan hal yang sama, tapi bencinya tak menajiskan itu. Munella berdecih kesal, "Jangan berharap kamu akan berjalan menuju masa depan sama aku, karena itu semua cuma mimpi!"
"Mun, lupain masa lalu and gimme a second chance. Please." Nada suara Excel terdengar lemah.
Lagi-lagi hati Munella merasa hangat dengan pengakuan Excel. Lagi-lagi juga bencinya mengeruak keluar. Seketika itu semua ia tepiskan. Munella seketika menatap Excel dengan tajam, "Melupakan masa lalu? Maksud kamu, aku harus ngelupain luka kakak aku yang kamu ukir?! Sadar gak, kalo luka itu buat kehidupan kakak aku kacau! Bahkan sampai dia bunuh diri!" Munella berkata setengah berteriak.
Excel menggerukan keningnya. Ia tak mengerti perkataan Munella. Lagi-lagi ada hal yang Excel tidak ketahui, "Bukannya Paili di penjara?"
Munella tersenyum miring, "Ya memang dia di penjara, beberapa hari. sampai pada akhirnya dia gantung diri di toilet penjara!" Munella menatap mengintimidasi Excel. "Bayangin sakitnya kakak aku, sampai dia bunuh diri. Bahkan dia yang mendonorkan jantungnya untuk aku."
Excel membeku seketika. Ini benar-benar diluar perkiraan. Dia tidak menyangka jika Paili akan sangat depresi sampai bunuh diri. Kata-kata yang sudah ia persiapkan untuk Munella seketika menghilang begitu saja. otaknya mengosong seketika. Perasaan sesal mengerogoti hatinya. Karena dirinya-lah yang telah menyakiti Paili. Lagi-lagi Excel harus menanggung tanggungjawab penderitaan orang-orang yang mencintainya.
"Dari awal aku bilang suka sama kamu, itu semua cuma sandiwara! Drama bales dendam! Untuk kamu, Ezaah dan Kevin." Munella menghembuskan nafasnya. "Tapi Ezaah ternyata udah mati duluan. Jadi tinggal kamu, sama Kevin. Karena kamu dekat, kamu jadi target pertama."
"Selama ini kamu sandiwara?" Suara Excel sudah mulai melemah.
"Ya." Kata itu keluar dengan bebas, tanpa ada tekanan. "Aku bahkan benci kamu." Munella menatap Excel dengan tajam.
"Aku benci semua tentang kamu, kebaikan kamu, ketulusan kamu, kasih sayang kamu, perhatian kamu..." Munella memegang dada sebelah kirinya. "Bahkan aku benci jantung ini yang berdetak kencang didekat kamu!"
Excel tidak mengerti makna dari ucapan Munella. Tapi dia mengerti makna dari benci Munella, "Mun.. Itu artinya.."
"Ya! Aku benci sekaligus cinta kamu! Rexcel do pamine!"
Bukankah itu bagus? Masih ada peluang bagi Excel untuk menghapus semua dendam dan benci Munellla. Dengan begitu, mereka akan bisa kembali dan memulai hidup baru yang lebih baik.
"Kalo begitu kasih aku kesempatan untuk memperbaiki hubungan kita Mun."
Munella menggelengkan kepalanya, "Gak! Gak akan pernah!" Air mata lolos dari kelopak mata Munella. "Karena benci aku gak akan pernah membebaskan aku." Munella menunjuk ke arah Excel. "Dan sesal gak akan berhenti menghantui kamu. Inget! Sesal kamu bukan cuma sama Paili doang, tapi sama Ezaah juga."
Lagi-lagi Excel terdiam dengan perkataan Munella. Sirna sudah semua harapan Excel. Semua ucapan Munella sangat menusuk, tapi Munella benar. Excel memang pantas untuk disalahkan. Karena dia-lah yang mempermainkan perasaan sekaligus hidup ketiga cewek. Bahkan dua diantaranya sampai meninggal. Excel menatap Munella lebih dalam. Dia sangat mencintai gadis ini. Dia tidak ingin kehilangannya. Tapi tampaknya benci Munella terhadap Excel, lebih besar dari cintanya. Kenapa Tuhan melibatkan Excel kisah cinta yang seperti ini? Apakah memang Excel tak pantas untuk dicintai oleh siapapun? Excel mengeluh didalam hati.
Excel menghembuskan nafas panjang, "Kalo begitu, sesuai dengan permintaan kamu, aku bakal meratapi kehilangan atas perbuatan aku sendiri."
Munella menghapus air matanya, "Dan aku meratapi kehilangan kak Paili dan kamu. Jadi kita impas." Ucap Munella dengan wajah datar.
Excel tersenyum. Terlihat jelas senyuman itu terdapat banyak luka. Tapi Munella mengabaikan itu semua. Dia sudah ingin mengubur perasaannya sedalam mungkin.
"Tapi, apa boleh aku peluk kamu untuk terakhir kalinya?"
Munella menatap Excel. Sedetik kemudian, dia langsung memeluk Excel dengan erat. Dia pasti akan merindukan cowok berkacamata ini. Dia ingin merasa egois, kali ini saja dan melupakan dendamnya untuk sesaat. Hatinya merasa sangat nyaman. Senyawa dopamine mengalir lembut ke seluruh tubuhnya. Excel memang sumber kebahagiaannya. Sekaligus penderitaannya.
Munella melepaskan pelukan itu. Excel terlihat tak rela. Tapi dia berusaha untuk menenangkan dirinya. Munella bukanlah miliknya lagi. Dia telah kehilangan Munella atas kebodohannya.
"Selamat tinggal." Munella menutup gerbang rumahnya dengan perlahan. Dengan cepat, Excel pun berkata, "Ya selamat tinggal, Mun."
Pintu gerbang itu tertutup. Sama dengan pintu hati Munella yang telah tertutup untuk Excel. Bedanya, pintu itu masih ada celah untuk dimasuki. Sedangkan hati Munella, sudah tidak ada celah untuk ia masuki. Excel benar-benar kehilangan Munella. Cintanya. Excel tak tau apakah dia akan bisa mendapatkan cinta pengganti Munella?
Excel berlutut didepan gerbang itu. Dia telah menyerah. Menyerah mendapatkan cinta Munella kembali. Dia memang lemah. Dia terus merutuki dirinya. Air mata pun yang sejak tadi ia tahan juga jatuh. Rasanya sangat sakit.
Munella juga masih didepan gerbang. Ia tak beranjak dari sana. Dia terduduk sambil memeluk kedua kakinya. Ia tak peduli hujan membasahi tubuhnya. Dia hanya ingin menangis. Menangis dalam diam. Berharap rasa sakitnya akan berkurang. Terkadang memang kita merasa bodoh dengan perasaan kita sendiri. Tapi perasaan bodoh itu-lah, perasaan yang paling sakit.
Sebenernya Munella sudah sangat lelah dengan dendam ini. Tapi janjinya pada kakaknya masih belum ditepati. Balas dendam ke Kevin.
******* THE END ******

Tidak ada komentar:
Posting Komentar