Minggu, 11 Agustus 2019

Novel : "Lament Meratapi Kehilangan" Part 13-18

---- Part XIII ----


Semilir angin bertiup lembut disebuah taman kecil yang sepi. Tidak ada orang selain Ezaah disana.

Terdengar Suara riang tawa orang-orang yang ada disekolah, tidak membuat Ezaah bergeming. Penampilannya dengan kostum nanas terlihat acak-acakan. Namun Ezaah tidak peduli. Saat ini yang dilakukan hanya terus menangis.

Pikirannya kacau. Belum lagi Hatinya sangat hancur saat ini ketika melihat cowok berkacamata tadi.

"Zaa..." Suara itu.

Ezaah melirik, ada kehadiran cowok berkacamata tadi. Ezaah hanya sanggup melirik, tak berani mengeluarkan sepatah kata ataupun menatap cowok itu.

"Za, maaf kalo dengan kehadiran aku disini buat kamu sakit. Maaf. Tapi aku gatau kalo kamu sekolah disini." Suara cowok itu terdengar sangat menyesal.

"Maaf, seharusnya aku ga perlu buat proposal colab antara sekolah kita." Matanya menatap kebawah.

Ezaah pun menghapus air matanya dan memasang kembali topeng apatisnya.

"Kamu ngga salah." Ezaah mengatur nafasnya. "Excel, Lebih baik kamu pergi."

Nada suara Ezaah terdengar sangat dingin. Excel sudah terbiasa dengan nada itu.

"Za, dengar. Kejadian 2 tahun lalu..."

"Stop Excel! Don't say anything again! Please! It's a pass. And now is not same." Ezaah bangkit dari duduknya.

"Aku mohon, jangan mengorek luka lama."

Ezaah pergi hilang dari pandangan Excel.

"Seberapa jauh kamu menjauh dan menghindar, takdir akan selalu mempertemukan kita."

Excel menaruh bunga mawar kuning dikursi taman. Lalumelangkah pergi meninggalkan taman.


--- Part XIV ---


"PAILI!" Panggil Edo dengan nada tinggi sesampainya diruang make up.

Paili pun bingung kehadiran Edo secara tiba-tiba. Paili sedang memberikan instruksi kepada orang-orang yang ingin tampil.

Zio langsung menarik tangan Paili. Paili tidak menerima hal itu dan langsung menarik tangannya.

"Lo pada apa-apaan sih! Lepasin tangan gue."

"Lebih baik Lo diem kalo gak mau citra jabatan Lo hancur." Ancam Zio. Matanya yang hitam tajam mampu membuat Paili takut.

"Oke fine! gue ikut. Tapi lepasin tangan gue. Gue bisa jalan sendiri."

Zio melepaskan cengkeramannya. Mereka berjalan menuju kelas yang kosong. Sesampainya disana, Edo menutup pintu. Agar tidak ada yang mendengar.

"Apa masalah Lo pada?" Paili yang selalu menunjukan wajah manis dan polosnya itu kini berubah menjadi wajah yang datar dan tegas.

"Oh jadi selama ini Lo pake topeng. Hebat"

Edo menepuk tangan. Memberikan senyuman merendahkan ke Paili. Paili masih kukuh dengan ekspresi nya.

"Jangan sok tau Lo! To the point, masalah Lo berdua apa!"

"Masalahnya adalah Lo udah nyakitin orang yang berharga buat gue."

Zio menahan kemarahannya. Meski terlihat jelas dia terlihat sangat geram dengan gadis bertubuh mungil itu.

"Maksud Lo, si jalang Pakezaah?" Paili tertawa kecil. Hal ini makin membuat Edo dan Zio geram.

"Jaga mulut busuk Lo yah!" Gerentak Edo.

"Wow, jadi si lajang itu udah bisa ngegaet dua cowok sekaligus. Hmm.. Tumben sedikit." Paili semakin merendahkan Ezaah.

"Oh jangan-jangan Lo berdua ngga tau siapa sebenarnya si jalang itu?"

Edo dan Zio mengerutkan dahinya. Ya mereka berdua memang tidak begitu mengenal tentang Ezaah. Apalagi tentang masa lalunya.

"Kasian." Paili tertawa kecil.

"Nih gue kasih tau yah. Si jalang itu dulunya adalah JALANG! Dengan wajahnya yang sok kecantikan itu, dia berhasil ngegaet 5 cowok sekaligus dalam sehari."

Edo dan Zio terkejut mendengar perkataan Paili.

"Lo jangan asal ngomong yah!" Edo sudah tidak tahan, Edo ingin menampar Paili. Tapi dihalangi oleh tangan Zio.

"Zio Lo kenapa sih? Dia udah nyakitin temen kita. Dia pantes kita tampar!"

"Tapi kita gak pantes nampar cewek!" Zio melirik Paili.

"Lo tadi bilang Ezaah itu playgirl? Baguslah, berarti dia lebih hebat naklukin cowok daripada Lo!"

Paili membelalak mendengar perkataan Zio.

"Lo seharusnya sadar, kalo Lo lebih hina daripada jalang. Oh mungkin Lo bisa dibilang rendahan!"

Perkataan Zio seperti menampar Paili. Seperti pisau yang menyayat-menyayat hati Paili. Bahkan tatapan Zio yang tajam sudah membuat nyali Paili ciut. Tidak ada kata pembelaan didalam pikiran Paili untuk membela dirinya sendiri. Otak dan pikirannya kosong seketika.

"Ayo do, urusan kita udah selesai." Zio membuka pintu kelas. Edo pun mengikuti Zio.

"T-tunggu." Mereka berhenti melangkah.

"Gue bener! Kalo Lo berdua ngga percaya. Coba Lo cari tau sendiri dari Facebook Pakezaah." Suara Paili mulai serak.

"Di-dia udah buat pacar gue, ga bisa sayang sama gue! Gue benci dia!"

Edo dan Zio tidak peduli. Mereka meninggalkan Paili dikelas kosong tersebut.


---- Part XV ----

•Flashback Segelintir Kenangan•

Seorang cowok dan cewek sedang duduk dikursi danau berdua ditengah hujan. Tidak ada orang selain mereka berdua. Tidak ada tempat berteduh disana. Mereka berdua menghindari hujan menggunakan daun pisang yang mereka ambil disekitar danau. Meski baju mereka tetap basah.

Daun pisang yang kecil membuat tubuh mereka harus berdekatan. Tidak ada yang berbicara sejak mereka berdekatan. Mereka berdua canggung.

Akhirnya sang cowok angkat bicara.

"Za, dulu aku inget pas pertama kali kita ketemu. Di danau ini. Pas lagi hujan juga."

Ezaah mengangguk dan tersenyum menatap cowok berkacamata itu.

"Iya aku inget Excel. Dua tahun lalu kan? Pas kamu dateng-dateng ngasih aku payung."

"Iya pas itu kamu lagi nangis kan."

"Enggak! Aku nggak pernah nangis."

Ezaah mengebungkan pipinya. Excel tertawa geli melihat Ezaah yang ngambek.

"Iya deh kamu nggak nangis. Tapi pas pertama kali aku ngeliat kamu, kamu kaya bidadari ditengah hujan."

"Lebay deh!!"

Ezaah mencubit lengan Excel. Wajah Ezaah terlihat memerah. Excel hanya tertawa melihat Ezaah.

"Aku mau nanya deh."

"Nanya aja princess." Excel mencubit lembut hidung Ezaah.

"Kamu kenapa masih bertahan sama aku? Padahal aku udah selingkuhin kamu."

"Karena aku percaya, cinta sejati pantas untuk diperjuangkan."

Ezaah menelan ludahnya. Kata-kata Excel barusan membuatnya tertegun.

"Eh-em nanya lagi deh."

"Nanya apa lagi princessku"

"Tujuan hidup kamu apa?"

"Hmm.. Apa yah..." Excel berpikir sejenak. "Emang kamu apa? Pengen jadi penyanyi ya"

"Ish! Ngga punya tujuan hidup yah? Kacian... Penyanyi mah cita-cita keless... Kalo tujuan hidup aku, pengen punya garden yang luaass banget." Ucap Ezaah dengan semangat. Excel tertawa kecil.

"Nice princess! Kalo aku pengen nikah sama kamu. Kamu adalah tujuan hidup aku."

Flashback End


---- Part XVI -----

Awan gelap menyelimuti malam. Bintang-bintang dan bulan menyelinap sebagai cahaya. Tapi malam ini cahayanya tertutupi oleh tebalnya kabut.

Pemandangan malam ini hanyalah gelap. Rasanya percuma menatap langit. Namun Ezaah masih tetap menatap kosong langit melalui jendela kamarnya.

Dadanya terasa sesak. Air matanya terus mengalir.

Liputan masa lalu terus mengeragoti pikirannya. Masa lalu yang menyakitkan. Seharusnya Ezaah sudah terbiasa. Tapi karena bertemu Excel tadi, membuat luka lama tergores lagi.

"Ara..." panggil seorang wanita.

Ezaah langsung sadar dari lamunannya. Ezaah menghampiri wanita itu disamping kamarnya.

Wanita itu terlihat tak berdaya dikasur. Wanita itu sebenarnya cantik, tapi tertutupi oleh wajahnya yang pucat.

"Mama butuh apa ma? Mama mau makan? Atau mau Ara pijit?"

Ezaah terlihat sangat panik. Ia memegang tangan mamanya dengan gemetar.

Mamanya memberikan senyuman tipis.

"Ngga sayang. Mama cuma tiba-tiba kepikiran sama kamu aja. Lagian kamu jangan sepanik itu dong. Mama cuma kecapean. Besok juga mama udah bisa kerja lagi."

"Mama mana bisa kerja dengan keadaan fisik kaya gini ma. Mama masih sakit."

Ezaah meneteskan air matanya. Dia takut mamanya juga meninggalkannya. Jika terjadi, maka Ezaah akan hidup sendirian.

"Mama kuat kok. Lagian kalo mama kebanyakan istirahat, yang bayar sekolah kamu siapa?" Ucap mama Ezaah lembut.

"Tapi kalo besok mama masih sakit, aku yang akan gantiin mama kerja ya? Biar mama istirahat."

"Ngga boleh, kamu kan besok sekolah. Kamu tenang aja, Mama pasti sehat."

"Pokonya mama harus janji dulu." Ezaah mengulurkan jari kelingking nya. Melihat putrinya seperti itu, membuat mama Ezaah tertawa geli.

"Iya mama janji." Mereka berdua mengaitkan jari kelingking mereka.



----- Part XVII -----

"Za, lo kemana kemarin? Abis lomba makan gue langsung nyari Lo, tapi Lo kaya lenyap ditelan serigala." Tanya Viola sambil memakan Snack.

"Iya Lo kemana za? Kantong mata Lo tuh udah kaya gosong kebakar." Sambung Agnes.

"Kantong mata kebakar? Enakan sosis kebakar kali." Ucap Viola dengan riang. "Apalagi kalo pake mayonaise, making enak deh. Ah jadi laper."

"Ternyata bener Lo kaya ayam, pemakan segalanya."

"Tapi emang beneran enak kok. Kapan-kapan gue buatin sosis bakar deh."

Agnes hanya menggeleng kepala dan kembali perhatian nya ke Ezaah yang sedari hanya membaca buku. Tanpa ada suara ataupun ekspresi wajah yang berubah.

Agnes mengambil buku yang dibaca Ezaah, "Za! Lo belum jawab kita. Lo kemarin kemana?"

"Pulang." Jelas singkat nya lalu mengambil bukunya kembali.

Agnes sudah tau jika Ezaah seperti biasanya. Menutupi dirinya serapat mungkin. Padahal didalam lubuk hati Agnes, ingin sekali menjadi sahabatnya. Namun sepertinya Ezaah tidak tertarik terhadap hubungan. Tapi Agnes bukanlah penyerahan.

"Vio, Za, gue pengen cerita sesuatu."

"Cerita apa?" Antusias Viola. Sedangkan Ezaah hanya diam dan masih berkutat pada bukunya.

"Sebenarnya gue dari awal masuk SMA udah falling in love with someone. Tapi gue nggak berani buat deketin dia atau bilang ke siapapun. Jadi gue pendam sendiri." Agnes menghembuskan nafas nya.

"Tapi akhir-akhir ini dia kaya ngedeketin gue gitu." Lanjutnya yang sukses membuat Viola terkejut.

"Wah serius lu? sama siapa? Gue kaget ternyata cewek kaya Lo bisa suka sama orang." Viola tertawa kecil.

"Lah emangnya Gue kaya Lo, JONES."

"Et Gue bukan jones yah. Gue JOHITZ. Jomblo ngehitz."

"Mau muntah Gue dengernya."

"Bilang aja iri. Eh iya Serius lah sekarang. Lo suka sama siapa?"

"Ada deh. Pokoknya dia itu istimewa banget buat gue. Tapi gue bingung. Dia itu terkenal bad boy. Gue ngga tau nanti kalo seandainya dia PHP-in gue atau nyakitin gue." Sorot mata Agnes seketika menjadi sedih.

"Mencintai konsekuensinya yaa disakiti." kali ini Ezaah angkat bicara.

Viola dan Agnes terdiam sejenak. Mencerna kata-kata yang diucapkan Ezaah barusan. Agnes tak menyangka jika Ezaah akan ikut merespon tentang masalah cinta.

"Thanks Za. Selama ini gue pikir Lo ngga ngangep gue ini sahabat Lo. Ternyata sahabat ngga perlu lebay perhatian, tapi sahabat peduli. Lo itu emang benar sahabat gue."

Jleb! Kata-kata Agnes barusan membuat Ezaah tertegun. Pasalnya Ezaah tidak pernah menganggap Agnes maupun Viola sahabat. Dia hanya menganggap mereka sekedar teman sekelas. Tak lebih.

"Ohiya btw busway. Sabtu ini kan ada konser EXO, gue ngajakin doi nonton. Tapi kali gue berdua kan ngga enak. Gimana kalo kita rame-rame?Lagian gue beli tiketnya 5." Agnes berkata dengan semangat.

"Ngga ah, gue ngga suka K-Pop. Ezaah juga ngga suka" ucap Viola. Agnes memasang wajah puppy eyes.

"Nanti pulangnya gue traktir makan eskrim deh. Sekaligus kita jalan-jalan ke mall. Please."

"Huftt.. yaudah gue mau deh kalo ada eskrim. Sekalian liat doi Lo." Viola berkata dengan pasrah.

"Saya sibuk." Ezaah kembali membaca bukunya.

"Ah Za please lah. Lo kan ga pernah pergi sama kita." Bujuk Agnes.

"Nggak mau."

"Nanti gue jemput deh."

"Nggak butuh."

"Ah please. Kali ini aja."

"Nggak bisa."

"Za please banget!!!"

Ezaah tau Agnes tidak akan menyerah. Ezaah menghembuskan nafas,

"Yaudah tapi cuma 2 jam. Nggak lebih."

Agnes bersorak ria.


--- Part XVIII ----

"Menurutku, dia seperti mawar merah. Menarik untuk dilihat, tapi menusuk untuk didekati."

-Ziovan Frans-



****



•Ziovan Prov•

Suara musik yang berdentum-dentum. Ramai. Cahaya yang minim. Orang-orang banyak yang menari sampai meloncat-loncat. Padatnya orang-orang yang ada. Hal inilah yang tidak disukai Ezaah.

Aku memperhatikannya sejak dari awal kita masuk ke konser ini. Baru 15 menit kita masuk, aku bisa lihat wajah cantik Ezaah yang tidak nyaman. Sedangkan Edo, Viola apalagi Agnes. Sudah terhanyut dalam suasana panggung.

Aku harus melakukan sesuatu untuk Ezaah. Aku menarik tangannya yang ada di sampingku. Ezaah terkejut. Itu pasti.

"ayo kita cari udara segar." Aku mengeraskan suaraku agar terdengar. "Gue udah mulai bosen."

Ezaah hanya mengangguk mengerti. Mungkin dia pasrah.

Aku menghampiri Edo sebelum pergi.

"Do gue sama Ezaah cari angin dulu yah." Suaraku lebih kencang agar dapat didengar oleh Edo.

"Apa? Ga kedengeran." Edo mendekat.

"Gue sama Ezaah pergi cari angin." Aku berbicara di telinganya.

Edo mengangguk mengerti. "okay bro."

Aku dan Ezaah pun keluar. Aku memegang tangan Ezaah. Sangat lembut dan hangat. Ezaah sepertinya belum sadar kalo aku memegang tangannya daritadi.

Aku mengajak Ezaah ke atas gedung konser. Gedung ini adalah mall. Jadi aku sudah tau persis jalannya. Menurutku, atap gedung adalah tempat yang paling menenangkan.

Sesampainya di atap gedung, Ezaah melepaskan tanganku dari tangannya. Ada perasaan tak rela. Tapi yasudah lah.

Ezaah mengalihkan pandangannya ke pemandangan kota. Sepertinya dia menikmati nya. Syukurlah, aku tidak salah membawanya kesini.

"Za, soal pentas seni waktu itu.."

"Soal saya nangis?" Ezaah sudah menebaknya.

"Iya, Lo pasti nangis karena Lo disuruh pake kostum nanas kan?"

Terlihat dahinya berkerut. Sepertinya dia bingung.

"Gue tau Lo pasti malu banget kan. Gue sama Edo udah tegur orgnya."

Ezaah menatapku dengan tatapan semakin bingung. Apa aku bicara salah? Apa aku salah menduga?

"Nggak usah repot-repot. Saya yang mau pake kostum nanas."

Aku terkejut mendengarnya. Jadi waktu itu aku sama Edo marah tanpa alasan? Tapi kenapa Ezaah menangis?

"Terus Lo kenapa nangis?"

Ezaah menghembuskan nafas. Pandangannya mengarah ke langit. Malam ini langit nya penuh dengan bintang.

"I think it's not your business."

Jleb. Kenapa kata-kata dia selalu menusuk? Nggak, ini semua salahku. Karena aku yang sudah tau akan ditusuk, tapi terus mendekat.

Menurutku, dia seperti mawar merah. Menarik untuk dilihat, tapi menusuk untuk didekati.

Aku ingin menghapuskan durinya. Aku ingin tau tentang Ezaah.

"Ehkm, Za ke bawah yuk. Kita cari makanan."

"Males."

"Ayolah, sekali-sekali semangat dong." Aku tidak akan menyerah. Karena aku bukan hanya ingin tau tentang dirinya. Tentang rahasianya. Hidupnya. Tapi tentang perasaannya.

"Huftt.. yaudah. Tapi bentar ya. Sejam lagi gue udah harus balik."

Yes.. Tidak akan aku sia-siakan waktu berdua berjalan Ezaah.

Aku dan Ezaah memilih makan disebuah cafe. Memesan kopi, roti dan ngobrol bersama. Tepatnya aku yang banyak berbicara.

Aku juga senang, karena penganggu sekaligus penghalang bagiku tidak ada. Buku. Yaps benar sekali Ezaah selalu mengalihkan perhatian dunianya ke buku. Yang sering menjadi penghalang untukku.

"Za, abis makan kita main ke toko buku yukk." Please bilang yaa.

"Anak-anak yang lainnya gimana? Bukannya konser udah selesai?"

Benar juga. Aku lupa dengan anak-anak itu saking senangnya bersama Ezaah.

"Ohiya, gue kabarin dulu deh."

Aku langsung mengambil ponselku dikantong celanaku. Tapi sayang, ponselku mati. Pantes saja ngga ada suara.

"Yah za, hp gue mati." Aku menunjukan ponselku.

"Terus gimana dong? Saya ngga punya hp." Dia terlihat cemas. Tapi aku tidak akan menyerah.

"Za, they will be okay. nanti juga kita ketemu." Aku berusaha menyakinkannya.

Ezaah mengangguk mengerti. Bagus.

"Sekarang kita ke toko buku yuk." Ini adalah momen yang sangat jarang bahkan belum pernah dalam hidupku.

Ezaah melirik arloji dipergelangan tangannya. Please god semoga aja dia mau.

"Yaudah tapi bentar ya."

Yes! Kemenanganku Hari ini dua kali lipat.



***

Tibalah kami di toko buku yang tak jauh dari cafe tadi. Ezaah terlihat sangat berbinar ketika melihat buku-buku yang terpajang. Dia langsung menghampiri rak buku tentang tanaman.

Aku mengikutinya. Aku tak bisa mengalihkan pandanganku ketika melihat senyumnya yang bahagia. Rasanya aku tidak ingin mengakhiri hari ini. Jujur saja, ini merupakan rekor muriku yang bisa melihat senyum Ezaah selama ini.

"Lo suka banget buku yah?" Dia menatapku dengan tersenyum. Oh God! senyuman nya manis sekali.

"Banget. Apalagi tentang bunga."

Dia kembali sibuk dengan buku. Senyuman nya tidak ada henti-hentinya. Dia benar-benar bahagia.

"Kalo gue lebih suka ngeliat org apatis tersenyum."

Seketika Ezaah menghentikan aktivitasnya. Ezaah menatapku. Mungkin dia tidak percaya apa yang aku katakan barusan. Tapi itulah nyatanya.

"Selama ini gue tenggelam dalam keacuhan Lo selama ini. Tapi.."

Aku memegang pipinya dan menatapnya lebih lembut.

"Gue suka sama Lo za."

Ezaah terkejut mendengar ucapanku barusan. Dia langsung menepis tanganku. Senyumannya hilang. Bahkan sekarang menjadi murka. Dia marah. Bisakah kata yang tadi aku ucapkan ditarik kembali?

"Saya pulang."

Ezaah pergi begitu saja. Aku hanya terdiam. Apa segitu bencinya kah dia kepadaku? Apakah aku yang bodoh selama ini mendekati sesuatu yang semu?

"Woy Zio!"

Aku menengok dan mendapati Edo dan viola bersama menghampiri ku. Aku berusaha menyesuaikan ekspresi wajahku menjadi seperti biasa.

"Iya apa?"

"Apa lagi! Ezaah mana?"

Tanya Edo padaku. Kenapa Edo menanyakan tentang Ezaah? Apa dia menyukai Ezaah sama sepertiku? Ah aku sudah berpikir yang aneh-aneh.

"Woy jawab malah bengong. Dari tadi gue sama Edo nyari Lo berdua. Agnes juga. Tapi kita mencar." Jelas Viola.

"Dia Udah pulang barusan."

"Lah kok? Tumben ngga bilang-bilang." Viola terkejut. Tentu saja dia tidak bilang. Dia udah keburu marah sama aku.

"Yaudah sekarang kita cari Agnes." Lanjut Viola.

Tiba-tiba Edo menarik tangan Viola.

"Gausah. Tadi Agnes Line gue, katanya dia udah balik."

Viola meng-ohkan Edo.

"Yaudah gue juga mau balik ah."

Viola melangkah pergi tapi tangannya ditarik lagi oleh Edo.

"Eh ayam. Gue Anter. Ini udah malem. Woy Zio, gue balik duluan yah."

Edo mengandeng tangan Viola. Tanpa persetujuan dari viola. Terlihat wajah Viola yang memerah. Mereka akhirnya pergi.

Jadi Edo suka sama Viola. Ah aku udah pikir aneh-aneh. Tapi Edo mengajarkanku sesuatu. Ini baru langkah awal tapi aku sudah menyerah. Tidak lagi.

***

Perjuangan untuk mendapatkan seorang wanita yang berharga memang tidak gampang. Karena aku percaya, wanita berharga sama dengan penghargaan yang sulit diraih. Banyak liku liku nya.

Saat ini aku berada di kantin, ingin berbicara dengan Agnes. Dia teman baikku. Pasti dia bisa membantu. Aku sudah membuat planningnya dikertas yang aku pegang.

Tak lama kemudian agnespun datang dan duduk di hadapanku.

"Ada apa?" Wajahnya terlihat tidak sehat seperti biasanya. Nada bicaranya juga terdengar kasar. Apa dia sakit?

"Lo kenapa? Lo sakit?" Aku memegang keningnya. "Nggak panas. Mungkin Lo banyak pikiran yah."

Tanganku langsung ditepis oleh Agnes. Galak banget dia.

"Yeh, orang peduli malah ditepis. Bodoh amatlah."

Dia hanya terdiam. Benar-benar berubah. Apa dia kesambet setan yah pas nonton konser semalem? Bodo ah.

"Gue punya proyek besar nes."

"Proyek apa?"

"Proyek nembak Ezaah dengan romantis." Ucapku antusias. "Gue udah siapin planning. Nih coba Lo liat."

Aku menunjukan kertas-kertas yang berisi planning.

Agnes mengerutkan dahinya seketika melihat planningku.

"Ada yang salah? Menurut Lo gimana?"

"Ba-bagus kok." Ucapnya dengan senyuman paksaan. Bodoh sekali dia. Tersenyum terpaksa keliatan sekali.

"Lo kalo ada masalah, just tell me. Kalo lo lagi seneng, Lo tersenyum tapi kalo Lo lagi sedih Lo bisa menangis. Karena gue ngga suka ngeliat sesuatu yang dipaksakan."

Agnes seperti nya terkejut mendengar perkataanku. Seperti nya kataku terlalu kejam.

"Ng-ngga kok. Gue bisa bantu Lo. Kapan Lo mau nembak Ezaah?" Lagi-lagi dipaksakan. Biarkanlah jika dia tidak mau cerita.

"Jumat ini. Edo dan Viola juga ikut ngebantu. Lo yakin bisa bantu gue?"

"Iya gue yakin." Dia tersenyum. Tapi dipaksakan lagi. Bodoh!


Bersambung ke part 19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar