---- Part 24 ----
Bel berbunyi, tanda bahwa waktu istirahat sudah berakhir. Ezaah mencuci wajahnya. Dia melihat dirinya di cermin. Matanya bengkak. Wajahnya memerah. Dia tidak peduli. Dia langsung melangkah ke kelas.
Dia berjalan ke kelas dengan langkah gontai. Sesampainya di pintu kelas, tiba-tiba Agnes menghampirinya.
"Za, lo kemana aja? Tadi kata guru BP, nyokap lo masuk rumah sakit."
Ezaah terdiam sejenak. Mencerna setiap kata yang diucapkam oleh Agnes.
"Za? Lo baik-baik aja kan?" Agnes mengusap punggung Ezaah.
Tanpa menghiraukan Agnes, Ezaah mengambil tasnya dan melangkah pergi. Dia tidak peduli dengan teman-teman nya ataupun guru-gurunya. Yang dia pentingkan sekarang adalah ibunya. Satu-satunya teman hidupnya.
Ezaah berlari, dia ingin menemui ibunya. Memeluknya. Sebelum semuanya terlambat.
Ketika ia sampai digerbang, gerbang ditutup. Ezaah menarik pak satpam yang ada di pos satpam.
"Pak bukain pak! Mama saya sakit pak! Tolong pak! Cepet pak!" Pinta Ezaah sembari menangis.
"Tapi Ade tunjukin surat izin keluarnya dulu de. Baru bisa dibuka."
"Tapi pak udah ngga ada waktu pak. Please pak. Saya mohon."
"Maaf de, ade harus minta surat izinnya dulu."
"Pak ini surat izin saya dan dia pak."
Tiba-tiba Zio ada disini dengan motornya yang besar. Dia memberikan surat izin ke satpam dan satpam pun membuka gerbangnya. Ezaah masih diam terkejut akan kehadiran Zio.
"Ayo cepet kita ke rumah sakit!"
Tanpa banyak berpikir, Ezaah langsung menaik dikursi belakang motor Zio.
Mereka melesat kencang menuju rumah sakit. Disepanjang perjalanan, Ezaah tak henti-hentinya menangis. Menangis dalam diam. Memikirkan ibunya yang sedang sakit. Dia hanya berharap Tuhan masih memberikan ibunya waktu untuk hidup.
Sesampainya mereka dirumah sakit, Zio langsung memarkirkan motornya. Lalu mereka mencari kamar ibunya Ezaah. Ezaah dan Zio berlari menyelusuri setiap lorong kamar. Rawat. Berharap ibu Ezaah ada disana.
Ketika ketemu nomor kamar yang tepat, Ezaah langsung memasuki kamar itu. Betapa terkejutnya Ezaah melihat tubuh yang sudah ditutupi oleh selimut putih.
Ezaah langsung menghampiri orang tersebut. Berharap itu bukan ibunya. Dokter dan suster ada disana bersamanya.
Ezaah membuka selimutnya. Ibunya disana. Dengan wajah yang pucat. Sudah tidak bernyawa lagi.
Tangis Ezaah pecah seketika.
"Mama! Mama bangun ma!"
Ezaah mengetuk-ngetuk wajah ibunya dengan lembut. Berharap ibunya masih hidup.
"Ma! Bangun ma"
"Ma please ma. Buka mata mama. Jangan tinggalin Ezaah."
Tubuh ibunya tidak merespon apapun, Ezaah terus menangis.
"Mama mau kita punya toko kan? Mama pengen kita jalan-jalan kan? Mama pengen liat aku sarjana kan?" Ezaah terdengar semakin pilu, dia sangat berharap ibunya membuka matanya.
"Mama pengen aku bahagia kan? Mama kebahagiaan aku ma! JANGAN tinggalin aku sendirian ma. Please ma! Jangan pergi!"
Ezaah semakin frustasi. Meski Ezaah mengucapkan beribu-ribu kata pun ibunga takkan sadar. Ibunya telah tiada. Ibunya, satu-satunya teman hidupnya telah pergi selama-lamanya tanpa mengucapkan selamat tinggal pada Ezaah. Ezaah tenggelam oleh tangisnya.
Dokter dan suster ataupun juga Zio hanya bisa melihat kejadian ini. Tidak bisa berbuat apa-apa.
---- Part 25 -----
Sudah hampir malam. Zio pun mengantarkan Ezaah pulang. Zio sangat khawatir dengan Ezaah. Diperjalanan hanya hening yang terjadi.
"Za? Are you okay?"
Tidak ada jawaban dari Ezaah. Zio merutuki diri atas pertanyaannya yang bodoh.
Tentu saja tidak ada orang yang baik-baik saja ditinggal oleh orang yang berharga baginya. Zio tau pasti butuh waktu yang banyak untuk menghilangkan kesedihan amat dalam.
"Bawa Saya ke toko bunga Ara." Suara Ezaah yang serak.
"Ngga pulang aja?"
"Ngga, saya mau ke sana."
"Yaudah Lo tunjukin jalannya."
Ezaah menunjukkan jalan ke toko bunga Ara. Dengan suara serak dan tubuh lemas yang duduk dibelakang motor. Zio hanya berharap Ezaah tidak pingsan.
Tibalah mereka di toko bunga tersebut. Tapi toko bunga itu terlihat sangat berantakan.
Ezaah turun dari motor Zio dan menghampiri toko ibunya itu. Bunga-bunga yang berserakan didepannya, pot-pot yang hancur, tanah berceceran didepan toko.
Tubuh Ezaah lemas seketika. Dirinya sudah tidak kuat lagi. Dia berlutut didepan toko. Ezaah menangis. Kali ini dia menangis berteriak. Tak peduli orang-orang disekitar nya yang berlalu lalang.
Zio menghampiri Ezaah dan memeluknya.
"Tenang yah semua bakal baik-baik aja Za."
Ezaah membalas pelukan Zio. Dia tidak peduli siapa Zio. Sebenarnya Ezaah tidak kuat. Dirinya sangat lemah dia selama ini menutupinya. Biarkan saat ini saja dia melepaskan topeng kuatnya.
"I'm tired Zio! Siapa orang jahat yang udah ngelakukn ini!"
Zio mengusap kepala Ezaah dengan lembut.
"Kita cari tau yah nanti. Yang penting sekarang Lo harus tenangin diri Lo. Gue tau sekuat apapun Lo Za, pasti butuh seseorang untuk menopang diri Lo."
Ezaah teringat akan satu hal. Tiba-tiba Ezaah melepaskan pelukan Zio. Dia menghapus air matanya. Dia bangkit. Dia menghampiri toko sembako samping toko ibunya.
Sedangkan Zio hanya menghembuskan nafasnya. Lalu mengikuti Ezaah.
"Permisi Tante dewi." Sapanya ketika melihat seorang wanita.
"Oh Ara, mama kamu gimana? Dia dirawat dimana?" Dewi terlihat sangat akrab dengan Ezaah dan ibunya.
Ezaah mengepalkan kedua tangannya. Dengan ragu Ezaah mengeluarkan suara.
"Ehm, ma-mama meninggal Tan."
Suara serak Ezaah terdengar sangat jelas. Terdengar sangat pilu. Ezaah menahan dirinya untuk tidak menangis.
"Ya Tuhan Ra, Kok bisa?"
"Mama emang punya penyakit Tan." Ezaah mengatur nafasnya.
"Kamu yang sabar yah Ra." Dewi mengelus bahu Ezaah sesaat.
"Iya gapapa kok tan." Ezaah memasang senyum. Terlihat sangat jelas senyum itu dipaksakan. "Tan kenapa toko mama bisa acak-acakan begitu?"
"Tadi pagi ada tukang sewa. Dia nagih tunggakan mama kamu. Tapi mama kamu ngga punya uang." Dewi menghembuskan nafas. "Akhirnya orang-orang dari tukang sewa ngacak-acak toko dan pergi. Mama kamu syok banget sampe pingsan lalu dibawa ke rumah sakit. Terus mereka juga bilang kalo besok toko mama kamu disita."
"Tapi kan mama cuma nunggak 1 Minggu? udah harus disita?"
"Tante juga ngga ngerti. Katanya itu kebijakan dari sananya."
Zio tidak bergeming. Sedangkan mata Ezaah terlihat berkaca-kaca. Dia menahan tangis. Dia sudah cukup banyak menangis hari ini. Betapa tersiksanya Ezaah hari ini.
"Yaudah Tan, aku pulang yah. Makasih."
"Kamu yang kuat yah." Dewi mengusap punggung Ezaah lagi. Ezaah hanya mengangguk dan pergi.
Ezaah kembali ke tokonya. Kali ini dia masuk ke dalam toko yang keadaannya sudah hancur. Dia mengambil beberapa pot yang masih bagus. Mengambil pupuk. Bibit. Dan barang-barang lainnya yang masih bisa digunakan.
Zio paham maksud Ezaah dan ikut membantu nya. Mereka memasukan itu semua ke dalam box besar. membawanya dengan diseret.
"Kamu bisa pulang. Ini udah malem." Ucap Ezaah sambil menyeret boxnya. Zio menarik tangan Ezaah.
"Gue bisa pulang kalo udah nganter Lo pulang."
Ezaah menghembuskan nafasnya.
"Saya mohon kasih saya waktu untuk sendiri." Sorot mata Ezaah terlihat sangat sedih.
Zio akhirnya menyerah. Terkadang seseorang memang butuh waktu untuk berpikir. Zio membiarkan Ezaah pulang sendiri dengan menyeret boxnya.
Zio sangat senang dan sangat sedih hari ini. Sedih karena Ezaah yang dilanda masalah dalam sehari. Senang karena dirinya sudah semakin mengenal sosok Ezaah.
----- Part 26 -----
•Flashback•
{ Ezaah's 7 years old }
Hujan menguyur rumah Ezaah dengan deras. Suara gemuruh petir terdengar sangat jelas. Hawa dingin menyelimuti malam ini. Bukan karena cuaca.
Tapi Edward dan Rosa terus saja berdebat tidak ada hentinya. Suara mereka mengema diseluruh rumah. Suara pecahan barang sudah menjadi iringan mereka bertengkar.
"Kamu udah puas pecahin barangnya? Oh iya aku lupa, kamu seorang Eadignes! Pantas saja jika menghancurkan barang adalah keahlian kamu!" Ucap Rosa dengan nada mengejek. Edward yang mendengarnya semakin murka.
"Jaga ucapan kamu! Kamu gak pantes ngejelekin keluarga Eadignes!" Edward mengarahkan jari telunjuknya ke arah Rosa. Dengan nada yang dingin serta mata yang tajm, menandakan ucapan Edward adalah ancaman.
"Oh ya?! Bukannya kamu yang udah buat keluarga KEBANGAANMU itu jelek?! Dengan selingkuh!"
"Mau berapa kali aku bilang ke kamu! Aku disuruh melakukan itu sama mami! Kamu udah tau itu kan!"
"Oh ya? Great Edward! Selama ini mami kamu juga gak anggap aku menantu, ditambah lagi sekarang mami kamu ngejodohin kamu dengan Sarah! Padahal kamu udah punya istri dan anak! Aku udah cape Ed! Cape!" Nada Rosa terdengar serak. "Ak-aku minta CERAI!"
JEDER!!!
Ezaah meringkuk dilemari kamarnya. Air mata telah membasahi pipinya. Tangan kecil Ezaah menutup telinganya. Berharap suara orangtuanya itu tidak dapat didengarnya.
"Cerai... Cerai.."
kata itu bergema dikepala Ezaah. Orangtua akan berpisah. Tidak ada lagi papa dan mamanya bersama. Tidak akan ada lagi kehangatan keluarga. Kata mamanya, papanya selingkuh. Papanya yang selingkuh membuat mamanya sering menangis setiap malam. Walaupun mamanya menyembunyikan itu, Ezaah sering mengintip mamanya yang tengah menangis.
Ini semua bukan hanya salah papanya, tapi neneknya juga. Mulai sekarang Ezaah berjanji pada dirinya sendiri, akan membenci papanya dan mamanya.
Karena pernikahan, karena cinta, karena para cowok. Sering kali membuat para cewek menangis karena disakiti. Setiap cowok bisa menyakiti cewek. Kenapa tidak dengan cewek menyakiti cowok? Ya para cowok harus tau apa yang cewek rasakan.
Ezaah menghapus air matanya. Wajahnya yang sedih dan takut telah hilang. Hanya terukir senyum yang mengerikan diwajah Ezaah. Batinnya sudah siap. Siap untuk balas dendam.
---- Part 27 -----
Ezaah berdiri didepan gerbang. Matanya menatap rumah besar itu dengan tajam. Ezaah terlihat sangat tidak nyaman berada disana. Terlihat jelas rahang Ezaah yang mengeras menatap rumah besar itu.
Seorang satpam yang tepat berada didalam rumah itu menghampiri Ezaah.
"De, mencari siapa yah?"
"Semua orang yang ada didalam rumah itu."
Pak satpam yang bertubuh kekar itu bingung.
"Maaf deh, lebih jelasnya lagi ade mencari siapa?"
Ezaah menarik nafas. "Tuan dan Nyonya Besar Eadignes."
"Apa sebelumnya sudah ada janji? Ade dengan siapa?"
"Belum. Tapi bilang, kalo Pakeezah Eadignes Ara ingin bertemu."
Pak satpam itu mengangguk dan kembali ke posnya. Pak satpam memencet tombol telpon. Pak satpam itu sedang menghubungi seseorang.
"Nyonya besar, ada remaja pake baju seragam sekolah SMA yang ingin bertemu."
"Siapa?" Suara diserang sana.
"Namanya Pakeezah Eadignes Ara."
"Oh anak itu. Bawa dia masuk."
"Siap nyonya."
Pak satpam itupun mengantar Ezaah masuk. Perkarangan rumah itu luas. Ada banyak tumbuhan diperkarangan. Terlihat beberapa mobil mahal yang terlihat terparkir disana.
Sampailah Ezaah dan pak satpam didepan rumah besar. Pintu itu terbuka oleh asisten rumah tangga. Ezaah pun masuk, sedangkan pak satpam kembali ke pos.
Ezaah dibawa oleh asisten rumah tangga itu ke ruang tamu. Didalam ruang tamu mewah itu sudah terdapat wanita dan wanita tua yang sedang duduk disofa. Wanita tua memandang Ezaah dengan tatapan tajam.
Ezaah menegakkan kepalanya, menatap wanita tua itu dengan hormat. Seolah dirinya tak bergeming oleh tatapan tajam itu. Walaupun dada Ezaah terasa sesak. Seperti sulit bernafas disini.
"Ada urusan apa kesini?" Wanita tua sekitar berumur 60an membuka suara. Wanita tua yang harusnya Ezaah panggil dengan sebutan nenek, tapi ada beberapa hal yang membuat Ezaah untuk menghilangkan panggilan itu.
"Saya kesini cuma mau bilang semalem ibu saya meninggal." Ezaah berkata dengan suara yang tegas. Ezaah bahkan tidak duduk disofa.
Terdengar suara ketawa oleh wanita tua itu.
"Terus kalo ibu kamu meninggal, kita harus ngapain? Ngubur dia? Apa ngebakar dia?"
Sadar akan ucapan Nyonya besar Eadignes yang kasar, wanita sekitar umur 30an buka suara.
"Mi sabar." wanita itu mengusap punggung Ny. Eadignes dengan lembut.
"Maafin kata Oma kamu yah Ara."
Wanita itu bertutur kata dengan lembut. Bisa terlihat dengan jelas ada kebaikan didalam matanya. Tapi Ezaah tidak menghiraukan keramahannya. Dialah wanita penghancur keluarga Ezaah. Penghancur hubungan ibu dan ayah Ezaah.
Ezaah mengepal tangannya. Dia sudah mulai kesal.
"Saya kesini bukan untuk meminta pertolongan pada kalian."
"Ohiya, mana mungkin anak jalang itu minta hal itu ma. Dia pasti mau minta uang." Ucap Ny.Eadignes.
"Lantas, kamu mau minta apa? Uang? Rumah? Atau perhiasan?"
"SAYA SUDAH BILANG, SAYA TIDAK BUTUH BANTUAN KALIAN!"
Ezaah menaikan satu oktaf nada suaranya. Dari dulu Ny.Eadignes memang selalu memandang rendah Ezaah dan ibunya. Ezaah membenci mereka semua. Sangat membencinya.
"Udah mi, jangan bilang begitu. Dia mungkin cuma mau kita hadir di acara pemakaman Rosa."
"Sarah? Kamu gila yah? Untuk apa saya datang ke pemakaman wanita rendahain itu, melihat wajanya saja saya jiji-"
"Cukup berdebatnya!" Ucap pria dewasa yang baru saja tiba, memotong ucapan Ny.Eadignes.
Pria itu mengerutkan keningnya menatap Ezaah. Pria itu bingung kehadiran Ezaah yang tiba-tiba.
Ezaah menatap Pria itu dengan tajam. Harusnya Ezaah memanggil pria itu dengan sebutan papa. Tapi sejak kejadian 10 tahun lalu, Ezaah sangat terpukul. Sampai pada akhirnya Ezaah membencinya.
"Ada apa kamu kesini?" Tanya sang ayah.
"Sore ini mama saya akan dimakamkan. Datanglah. Jika masih ada SEDIKIT rasa peri kemanusiaan didalam hati kalian."
Mereka semua terdiam. Ezaah menatap tajam mereka semua. Sebelum pergi meninggalkan rumah besar itu.
"Dasar anak kampung. Mana Sudi kita datang ke pemakaman ibunya yang rendahan itu." Cerocos Ny.Eadignes.
"Mi tolong kontrol ucapan mami!" Nada suara Ayah Ezaah terdengar tegas.
"Edward! Kamu kenapa jadi kasar gitu! Apa kamu merasa iba ke anak j*lang itu?"
"Seterah mami mau bilang apa. Yang jelas aku bakal hadir ke pemakaman Rosa" Edward pergi meninggalkan mereka berdua.
Ny.Eadignes berdecak dengan kesal.
----- Part 28 ----
Pagi hari terasa panas oleh murid-murid yang sudah bergosip. Sebenarnya hal ini sudah biasa.
Tapi menjadi tidak biasa karena seluruh murid-murid yang Agnes lewati, melirik Agnes dengan tatapan tidak mengenakan.
Agnes pura-pura tidak peduli. Dia terus berjalan menuju kelasnya.
Ternyata tatapan sinis itu tidak berakhir sampai Agnes dikelas. Teman-teman sekelasnya juga melirik dengan tatapan yang sama. Agnes sudah mulai risih.
Agnes duduk di kursinya. Tak lama kemudian, Viola masuk ke kelas dengan tatapan yang tidak enak.
"Pada kenapa sih?" batin Agnes.
Viola menghampiri agnes. Lalu menarik Agnes.
"Ayo ikut gue."
"Tu-tunggu. Ada apa sih?"
"Lo ikut gue kalo lo mau ini semua berakhir."
Viola menatap Agnes dengan wajah yang memerah. Dia seperti marah.
Sebelumnya Agnes belum pernah melihat viola semarah ini. Akhirnya Agnes pun mengikuti Viola.
Mereka tiba ditaman yang biasanya Ezaah datangi. Tapi yang anehnya, Ezaah tidak ada. Yang ada hanya Zio dan Edo.
Zio menunjukan poster ke Agnes.
"Nes nih maksudnya apa?!" Bentak Zio. Membuat Agnes bingung. Tatapan Zio juga terlihat dingin.
"Apakah akan selalu seperti ini? Selalu dingin." batin Agnes
"Lo ngomong apaan sih?"
"Mending Lo baca dulu tuh poster." Ucap Edo tak kalah dinginnya.
Agnes mengambil dan membaca poster itu.
"Ziovan si jenius sekolah berpacaran dengan si es Pakezaah. Tapi menariknya, Pakezaah telah mengkhianati sahabatnya sendiri. Agnes. Yang ternyata menyukai Ziovan dari masa MOS. Karena dendam, sebagai anak tunggal pemilik sekolah, Agnes telah membuat beasiswa Pakezaah dicabut. Kira-kira apa yang akan terjadi selanjutnya? Apakah Pakezaah akan dikeluarkan dari sekolah?"
Agnes terkejut membaca poster harian sekolahnya.
"Itu hoax! Gue ngga pernah berpikiran apalagi nyuruh bokap gue buat cabut beasiswa Ezaah. Ngga pernah dan nggak akan!"
Zio menatap tajam Agnes.
"Lo pikir kita bodoh? Cuma Lo satu-satunya orang yang bisa nyambut beasiswa Ezaah!"
"Zio Lo tenang dulu jangan emosi." Edo berusaha menenangkan Zio.
"Gimana gue bisa tenang do? Baru kemarin ibu Ezaah meninggal dan sekarang beasiswanya dicabut. Pasti dia tersiksa banget do." Zio mengacak-acak rambutnya dengan frustasi. Edo mengusap punggung Zio.
"Ya gue tau dia pasti sedih Zio, But, use your mind! Lo kan bilang Lo gak pacaran sama Ezaah. Berarti belum tentu juga agnes suka sama Lo ataupun cabut beasiswa Ezaah. Siapa tau ini cuma jebakan."
Agnes mencerna kata-kata Zio perlahan-lahan. Ada kata-kata meninggal. Membuat otak Agnes kosong seketika.
"Tu-tunggu, Lo bilang nyokap Ezaah dia.."
"Iya nes, dia meninggal kemarin.Sekarang Ezaah lagi nyiapin acara pemakamannya buat nanti sore." Sambung Viola.
Agnes membelalakan matanya. Dia sangat terkejut. Ezaah pasti sedang sangat rapuh saat ini. Ditambah lagi khasus disini.
"Sekarang kita harus pikirin. Siapa kira-kira yang bikin poster begini. Tadi gue udah tanya anak poster, tapi bukan mereka yang buat." Ucap Edo.
"Lah terus siapa?" Agnes memperdenyitkan dahinya. Edo hanya mengelengkan kepalanya.
Ini sangat aneh. Tidak mungkin orang gila atau orang luar yang bisa buat poster hoax itu. Ditambah lagi orang itu tau hubungan Ezaah dan Zio. Pasti orang itu orang yang mereka kenal.
Agnes mengingat orang-orang yang dia kenal, yang mengetahui rahasia Agnes, Ezaah dan Zio. Orang terdekat mereka. Tidak. Tidak mungkin Viola. Tidak mungkin juga Edo. Pasti seorang musuh.
Agnes teringat sesuatu.
"Guys, gue tau siapa pelakunya."
Ucapan Agnes membuat Viola, Edo dan Zio menatapnya bersamaan.
"Siapa?"
"Mungkin aneh. Tapi bisa juga memang. Orang itu sepupu gue, Paili. Paili pernah mengebujuk gue buat minta bokap gue cabut beasiswa Ezaah. Tapi gue bingung, kenapa dia mau ngelakuin itu?"
"Oh Paili, dia orang yang ngelabrak Ezaah kan?" tanya Viola.
"Iya, bener ternyata dia. Kenapa kita gak kepikiran daritadi." Edo membenarkan Viola.
"Wait? Ngelabrak? Paili ngelabrak Ezaah? Tapi kenapa?" Agnes bingung dengan ambigu Edo dan Viola.
"Entar aja ceritanya. Yang penting kita harus ketemu sama Paili." wajah Zio terlihat merah seketika mendengar kata Paili.
"Iya, tapi harus ada yang disamping Ezaah pas pemakaman ibunya." Sambung Edo.
"Gue aja. Gue bakal nemenin Ezaah. Lo semua temuin Paili." Viola terlihat bersemangat. Mereka semua pun setuju.
--- Part 29 ----
"Pai, Ada apa Lo nyuruh gue ke sini?"
Excel bingung dengan permintaan Paili yang memintanya untuk bertemu digudang sekolah. Biasanya Paili ingin bertemu di taman sekolah atau caffe. Ditambah lagi sekolah yang sudah mulai sepi.
Paili yang sedang melamun, sadar kehadiran Excel langsung memeluknya. Sedangkan Excel hanya terdiam, tidak membalas pelukan Paili.
Paili mulai meneteskan air matanya di tubuh Excel.
"Please cel, don't leave me. I love you so much cel." Suara Paili serak.
Excel melepaskan pelukan Paili.
"Sorry if I was hurting you. But I don't love you. I have been loving Ezaah. You knew that."
Paili menghentikan tangisnya. Dia menatap Excel dengan tatapan nanar.
"Lo ngga bisa maksain seseorang, Pai. Segala sesuatu yang dipaksakan itu gak akan berakhir baik."
"Stop! Don't say anything again!"
Paili menutupi kedua telinganya dengan kedua tangannya. Ia melangkah mundur. Wajahnya memerah.
"Kalo gue ngga bisa miliki Lo, berarti Ezaah juga ngga pantes miliki Lo. Biar adil!"
Excel tetap diam. Paili benar-benar sudah kacau. Excel baru sadar, Paili berantakan. Dengan penampilannya yang berantakan. Biasanya Paili memprioritaskan penampilannya. Apakah dia sampai sesedih itu karena diputusin Excel?
"Lo liat aja nanti apa yang akan terjadi." Paili membalikan badannya sambil tersenyum miring.
"Maksud Lo apa! Jangan sekali-kali Lo sentuh Ezaah. Kalo Lo berani sentuh dia walaupun hanya sehelai rambutnya, Lo bakal tamat."
Excel menatap Paili dengan tajam.Berharap ancamannya itu akan membuat Paili takut. Tapi Paili hanya tersenyum. Lesung Pipit yang manis terlihat menyeramkan disaat seperti ini.
"Lo liat nanti. Lagian Lo seharusnya sadar, kalo ini semua salah Lo."
Excel berdecak kesal. Excel sudah muak dengan Paili. Jika dituruti, pasti tidak akan ada habisnya mereka berdebat. Akhirnga Excel pun pergi meninggalkan Paili.
Setelah Excel pergi, Paili tertawa keras. Suaranya menggema di gudang itu.
"Ada utang yang harus dibayar. Ada darah yang harus dibalas darah."
Bersambung ke part 30...

Tidak ada komentar:
Posting Komentar