Dia datang.
Dia memakai pakaian serba putih dan terlihat
bersih. Pria yang sangat aku benci datang ke rumahku didampigi oleh beberapa polisi.
Aku langsung memeluk perut buncitku. Matanya menatap rindu kepadaku. Sedangkan
aku, menatapnya tajam. Dia tidak menghiraukan tatapanku, dan langsung mengelus
perutku dengan senyum yang mengembang. Apakah pantas penjahat tersenyum bahagia
hanya dengan mengelus perut hamilku?
"Sekarang kamu bisa lihat kan? Amarah berubah menjadi
kecewa, kecewa jadi benci, benci jadi dendam." Nafasku tiba-tiba tercekat.
"Dan lihat, dendam akhirnya menghancurkanmu juga." Aku berusaha mengatur
emosiku.
Dia berhenti mengelus perutku, dan kini dia mengelus pipiku
dengan tatapan sendu. Ya Tuhan! Air mataku hampir lolos! Jangan sampai
kelembutannya membuatku menangis.
"Tapi aku mensyukuri semuanya, karena berkat itu semua,
aku dapat memilikimu." Dan lagi-lagi dia tersenyum bahagia. Tidaklah dia
takut bahwa hukumannya sebentar lagi dilaksanakan?
"Kenapa kamu tidak takut, Dave?"
"Untuk apa aku takut, Sarah? Selama kamu dan anakku bahagia,
aku tidak akan takut."
Ya Tuhan! Aku sudah tak tahan lagi. Air mataku lolos. Hatiku
melembut. Tapi kejadian itu masih terlihat jelas di kepalaku.
Kejadian dimana Dave membunuh seluruh keluargaku, Ayah, Ibu,
kakakku Ririn, Adik kecilku Matt. Dirumah ini, dia telah membunuh semua orang yang
aku cintai. Dengan dendam, dia menghancurkan hidupku. Aku sangat membencinya.
"Dave, jika waktu itu aku tidak pulang terlambat, apakah
aku akan mati juga?"
"Mungkin aku tidak akan membunuh. Karena hanya melihat
matamu saja, aku sudah jatuh cinta."
Isakku semakin menjadi. Namun kenangan buruk lagi-lagi
terawangan, ketika dia membawaku kerumahnya. Dia mengunciku selama beberapa Minggu.
Selama itu juga aku diperkosa dengan kasar olehnya. Aku semakin membencinya. Rasanya
ingin bunuh diri, tapi dia terus saja menahanku.
Lalu semua berubah, ketika dia tau jika aku hamil. Dia berubah
menjadi lembut. Dia memberiku ruang lebih bebas. Dia bisa menjadikanku sebagai orang
tersiksa di dunia, tapi dia juga bisa membuatku orang paling bahagia. Apakah
itu pantas dibilang kenangan buruk?
"Maaf pak Dave, waktu Anda habis." Ungkap salah satu
polisi. Dave mengangguk mengerti.
Dia pun memelukku erat sambil mengelus rambutku.
Aku pun membalas pelukannya. Perasaan nyaman ini menjalar sampai ke seluruh tubuhku.
Kenapa rasanya berat sekali melepasnya? Aku ingin bersamanya. Membesarkan anak
ini dengannya. Dan kita akan menjadi keluarga bahagia. Tapi itu salah,
perbuatannya haruslah ditebus.
Aku melepaskan pelukannya, "Terimakasih sudah mau
melakukan kebenaran. Walaupun ini menyakitkan."
Dave mendekatkan dahinya ke dahiku, "Tidak, aku sangat
bahagia." Dave menjauhkan dirinya. "Jaga anak kita, aku tau kamu
adalah wanita hebat. Aku percaya kamu bisa membuat anak kita menjadi
hebat."
Dave pun perlahan pergi bersama polisi. Air mataku terus
saja mengalir, perasaan sesak menyeruak di dadaku. Sebelum Dave memasuki mobil polisi,
dia berkata, "Aku mencintaimu." Dengan senyum yang indah. Aku serap baik-baik
senyumnya, senyum penuh cinta terakhirnya.
Dave pun pergi. Aku masih setia menunggunya kembali. Aku
berusaha merasakannya, membayangkan apa yang sedang ia alami.
Suara pelatuk pistol seolah menusuk jiwaku, meremas hatiku tanpa henti. Air mataku tak henti-hentinya mengalir, walau aku tak melihatnya, tapi membayangkannya saja sudah membuat hatiku sangat sakit. Aku hanya bisa menunggunya, bukankah memang tugas seorang istri menunggu suaminya pulang?
Dan ketika Dave kembali, tubuhku tumbang, kesadaranku terenggut. Dia sudah tidak bernyawa.
Karena pada akhirnya aku sadar, lagi-lagi aku kehilangan orang yang aku
cintai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar